Di banyak lingkungan kerja, ada tekanan tak tertulis untuk selalu terlihat positif. Namun, ada garis tipis antara optimisme yang sehat dan ‘toxic positivity’ atau positivitas beracun. Fenomena ini adalah keyakinan bahwa seseorang harus mempertahankan pola pikir positif setiap saat, menolak dan menekan emosi negatif seperti stres, kekecewaan, atau kecemasan. Alih-alih membantu, sikap ini justru bisa sangat merusak kesehatan mental dan budaya kerja.
Mengapa Positivitas Berlebihan Justru Berbahaya? Saat seorang rekan kerja yang sedang kewalahan diberi tahu “Semangat aja, jangan ngeluh!”, perasaannya tidak menjadi lebih baik. Sebaliknya, ia merasa perasaannya tidak valid dan tidak didengar. Toxic positivity menciptakan lingkungan di mana orang takut untuk mengakui kesulitan, karena khawatir dianggap negatif atau tidak kooperatif. Ini menghambat komunikasi yang jujur dan membuat masalah yang sebenarnya ada menjadi terpendam.
Mengenali Ciri-Ciri ‘Toxic Positivity’ Ciri utamanya adalah penolakan terhadap emosi yang dianggap “negatif”. Frasa-frasa seperti “Lihat sisi baiknya saja,” “Bisa jadi lebih buruk, lho,” atau “Pokoknya harus positif thinking!” yang diucapkan untuk menepis keluhan yang valid adalah tanda-tanda bahaya. Lingkungan kerja yang diwarnai toxic positivity cenderung menghindari diskusi tentang masalah dan lebih memilih fasad “semua baik-baik saja”.
Strategi Menghadapi dan Membangun Batasan Untuk menghadapinya, mulailah dengan memvalidasi perasaan Anda sendiri bahwa merasa stres atau kecewa adalah hal yang wajar. Saat berkomunikasi, gunakan “I-statements” (misalnya, “Saya merasa sedikit kewalahan dengan tugas ini”). Jika Anda berhadapan dengan toxic positivity dari orang lain, Anda bisa merespons dengan, “Saya menghargai optimismenya, tapi saat ini saya butuh ruang untuk memproses tantangan ini.”
Intisari:
- Definisi: ‘Toxic positivity’ adalah penolakan terhadap emosi negatif dan tuntutan untuk selalu positif, yang justru merusak kesehatan mental.
- Bahaya Tersembunyi: Membuat individu merasa perasaannya tidak valid dan menghambat komunikasi yang jujur tentang masalah di tempat kerja.
- Kenali Tandanya: Ciri utamanya adalah penggunaan frasa-frasa positif untuk menepis atau mengabaikan keluhan yang sah.
- Cara Mengatasi: Validasi perasaan Anda sendiri, gunakan “I-statements”, dan jangan ragu untuk membangun batasan.
